Laman

Senin, 16 Mei 2011

do-ra-ma

Masih inget sama serial kartun Dragon Ball yang sering di puter di Indosiar?. Iya, itu kartun (bahasa Jepang gahoelnya, anime) jadul banget. Dari gue kelas satu SD sampe gue kelas satu SD lagi (lho?) masih ada aja. Malah sekarang dibikin versi barunya (ceritanya sih sama aja). Sebenernya itu kartun gak perlu sampe bertaun-taun gitu umurnya kalau diputernya gak seminggu sekali. But, it’s ok, kita lagi gak mau ngomongin itu juga kok.

suatu hari,bocah yg di tengah itu bakal jadi berandal berambut pirang

Berawal dari serial Dragon Ball itulah gue jadi suka sama yang berbau Jepang (kecuali sampahnya, sampah mah dimana-mana juga gak enak baunya). Kesukaan gue ini didukung juga sama stasiun-stasiun TV di Indonesia yang banyak nayangin kartun-kartun Jepang. Yang udah ada dari sebelum gue lahir mungkin Doraemon (emang legend banget kucing yang satu ini). Terus ke Digimon, Pokemon, Sailor moon, si emon, mari kita kemon (yang dua terkahir itu kayaknya gak ada lho), banyak lah ya.

Dari kesukaan gue sama kartun itu, gue juga merambah ke dunia komik. Dulu gue seneng banget (gak sampe salto tujuh kali sih, sekali aja gue udah gagal)kalau ke toko buku, coz pulangnya pasti bawa komik. minimal satu, maksimalnya gak lebih dari dua. So, Intinya adalah, takoyaki, I’m in love.


Di sekolah pun temen-temen gue ternyata banyak yang takoyaki, I’m in love juga. Nah, berawal dari temen pula lah gue jadi suka sama yang namanya dorama. Tadinya gue gak begitu tertarik sama film-filmnya, coz menurut gue, yang sugoi dari Nippon adalah animenya.

Suatu malam gue liat serial asia di Jak TV. Eh, ceritanya bagus juga, tapi itu film Taiwan. Besoknya gue cerita ke Winda, temen gue yang takoyaki, I’m in love juga, tentang film itu. tak dinyana tak disangka, ternyata mak erot sudah meninggal sodara-sodara (iya, emang gak nyambung), kata temen gue itu film ada versi Jepangnya, malah emang diangkat dari manga Jepang. Dan yang lebih wow lagi, ternyata gue ngganteng sodara-sodara (yang mau muntah gak usah ragu-ragu, kalau perlu nambah) dia punya DVD-nya. Penasaran dong gue, penasaran gak ya? Hm, penasaran aja deh..

Al hasil minjem lah gue itu DVD temen. Dan dorama yang pertama gue tonton (kalau gak salah sih ini yang pertama) berjudul “Hanazakiri no Kimitachi e”. bercerita tentang seorang cewek (Ashiya Mizuki) yang nyamar jadi cowok terus masuk ke sekolah khusus cowok buat bikin cowok idolanya (Sano Izumi) lompat lagi. Bukan, bukan lompat tali. Bakal panjang kalau gue ceritain di sini, lain kali aja yeee..

Begitu gue tonton doramanya, gue langsung suka sama yang namanya Horikita Maki, yang meranin Ashiya. Kok ada ya makhluk semanis itu?. Mungkin Tuhan lagi ‘tersenyum’ waktu nyiptain makhluk indah ini.

neng, ikut abang dangdutan yuk!

Udah-udah, jangan kelamaan ngeliatinnya, tar pada suka lagi. Setelah liat neng Maki (neng? Iya, ternyata Maki itu orang Tasik. Boong banget) dan kawan-kawannya gue jadi suka sama yang namanya dorama. Gak freak, cukup sewajarnya. Penikmat seni.

Film itu gambaran sosial masyrakat. Dari dorama juga kita bisa liat kebudayaan Jepang. Dan dari situ kita bisa belajar banyak. Secara umum, dari tiap dorama yang gue tonton pasti ada pesan di dalamnya. Dari doramanya neng Maki contohnya. Di salah satu episodenya diceritain ketiga kepala asrama, yang biasanya gontok-gontokan, bersatu buat ngebentuk student council (semacam osis gitu lah kalau di eSeMAh, tapi Cuma tiga orang, aneh? Namanya juga film) and pas udah kebentuk, mereka bertiga rebutan buat jadi ketuanya. Beda banget sama pelajar kita yang buat nentuin ketua kelas aja mesti tunjuk-tunjukan dulu. Ya itu gambaran sempitnya aja sih.

Biasanya film Jepang itu punya pesan yang ndalem. Seberapa pun ‘ancur’-nya film itu, pasti ada pesan dibelakangnya. Dari yang gue tonton sih kebanyakan ngajak kita untuk berani bermimipi and pantang menyerah. Ya, intinya itu, mimpi, semangat dan kerja keras. Jepang banget kan?. Itu dari segi pesannya. Dari segi kualitas juga gak kalah kerennya. Ya, as we know lah, Jepang kan salah satu pusatnya teknologi, seninya juga tinggi. Menurut gue, para nihon jin (maksudnya orang jepang, bukan jin dari jepang) itu kalau bikin sesuatu emang gak pernah nanggung. Mereka selalu bikin sesuatu itu dengan serius. Totalitas dul,  to-ta-li-tas!.

Kalau boleh coba kita bandingin sama film-film kita. As we know, film-film kita ceritanya gak jauh-jauh dari horor esek-esek. Terkesan maksa pula bikinnya. Di sini juga yang berkuasa malah artis-artis impor sejenis pocong, kuntilanak, suster ngesot sampe yang gak punya kepala. Yang kita impor dari Jepang malah yang esek-eseknya. Ok, mungkin gak semua film Indonesia kayak gitu, ada juga kok yang mendidik and berkualitas, tapi banyaknya… ya gitu.

Gue rasa kita bisa belajar banyak (banget) dari film-film Jepang. Bahwa film adalah bahasa. Bahwa film adalah pesan. Bahwa film bisa mencerdaskan. Bahwa film itu cerminan budaya bangsa. Semoga film-film Indonesia bisa jadi sebesar bangsanya. Amien2011x…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar